0
Home  ›  Artikel  ›  Pendidikan

Anak Sekarang Lebih 'Telmi' Ketimbang Anak Zaman Dulu? Ini Pendapat Prof. Stella Christie

 Dalam episode Kick Andy yang ditayangkan Metro TV beberapa bulan lalu, Prof. Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains & Teknologi, membahas fenomena menarik tentang perbandingan kemampuan kognitif anak-anak generasi sekarang dengan generasi sebelumnya. Diskusi ini menyorot istilah 'telmi' (telat mikir) yang sering disematkan pada anak-anak zaman sekarang. Benarkah anak-anak era digital ini lebih lambat dalam berpikir dibandingkan anak-anak zaman dulu?

Prof. Stella Christie dalam acara Kick Andy Metro TV

Fenomena "Telmi" pada Anak Generasi Digital

Prof. Stella Christie dalam wawancaranya menjelaskan bahwa fenomena anak-anak yang dianggap "telmi" atau lambat berpikir saat ini sebenarnya perlu dilihat dari berbagai perspektif. Menurutnya, perkembangan teknologi memiliki pengaruh signifikan terhadap cara anak-anak berpikir dan memproses informasi.

Berdasarkan hasil penelitiannya di bidang kognitif, Prof. Stella menyoroti bahwa:

  1. Ketergantungan pada Teknologi: Anak-anak generasi sekarang mengandalkan perangkat teknologi untuk memperoleh jawaban secara instan, sehingga mereka kurang terlatih untuk memecahkan masalah secara mandiri.
  2. Kemampuan Fokus yang Menurun: Paparan konten digital yang berlebihan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk fokus dalam waktu lama, yang berdampak pada proses berpikir.
  3. Perubahan Pola Pemrosesan Informasi: Cara mengakses dan memproses informasi yang berbeda antara generasi digital dengan generasi sebelumnya membuat tolok ukur "kecepatan berpikir" menjadi tidak setara.

Dalam salah satu bagian wawancara, Prof. Stella mengatakan, "Teknologi memang memiliki dampak yang besar dalam kemampuan kognitif anak. Penggunaan teknologi yang terlalu sering dapat memperlambat kemampuan kognitif tertentu, namun juga dapat meningkatkan kemampuan kognitif di area lain."

Kritik terhadap Penggunaan IQ sebagai Tolok Ukur Tunggal

Prof. Stella Christie juga mengkritisi keras penggunaan IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan. Beliau menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada kesepakatan ilmiah bahwa IQ dapat mencerminkan kecerdasan secara keseluruhan.

"Sampai sekarang tidak ada kesepakatan bahwa IQ sungguh-sungguh mencerminkan kecerdasan," ujarnya dalam acara tersebut.

Beliau menjelaskan bahwa pandangan terhadap IQ yang tetap (fixed mindset) justru dapat menjadi penghalang kemajuan. Dalam pola pikir seperti ini, orang cenderung meyakini bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang tidak dapat berkembang, yang pada akhirnya dapat menekan semangat belajar dan berinovasi.

Fixed Mindset vs Growth Mindset 

Prof. Stella menekankan pentingnya mengadopsi growth mindset, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Prof. Carol Dweck dari Stanford University. Growth mindset adalah pandangan bahwa kecerdasan dapat berkembang seiring dengan usaha, pengalaman, dan pembelajaran yang dilakukan sepanjang waktu.

"Growth mindset memungkinkan kita percaya bahwa kecerdasan bisa berkembang melalui usaha, belajar, dan pengalaman," jelasnya.

Negara-negara yang memiliki tingkat growth mindset tinggi, menurut Prof. Stella, cenderung menunjukkan pencapaian akademik dan keberhasilan ekonomi yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa adopsi pola pikir yang menekankan pada pengembangan diri lebih berpengaruh dibandingkan dengan sekadar angka IQ yang tetap.

Dampak Teknologi pada Kemampuan Berpikir Anak

Dalam diskusi mengenai pengaruh teknologi pada kemampuan berpikir anak, Prof. Stella menyoroti beberapa aspek penting:

  1. Perubahan Cara Berpikir: Teknologi digital telah mengubah cara anak-anak memproses informasi. Mereka cenderung lebih cepat dalam pencarian informasi tetapi kurang mendalam dalam pemahaman dan analisis.
  2. Ketergantungan pada Alat Bantu: Anak-anak generasi digital terbiasa mengandalkan kalkulator, mesin pencari, dan aplikasi untuk menyelesaikan masalah yang dulu harus diselesaikan secara manual oleh generasi sebelumnya.
  3.  Multitasking: Generasi digital terbiasa melakukan multitasking, yang meskipun dapat meningkatkan kemampuan beralih antar tugas (task-switching), namun dapat mengurangi kemampuan fokus dan pendalaman.

Menurut artikel yang diterbitkan oleh Haluan.co, Prof. Stella menjelaskan bahwa "penggunaan teknologi yang terlalu sering dapat memperlambat kemampuan kognitif. Teknologi memang memiliki dampak yang signifikan, tetapi kita perlu mengelolanya dengan bijak."

Saran untuk Orang Tua dan Pendidik

Prof. Stella Christie memberikan beberapa saran praktis bagi orang tua dan pendidik untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak di era digital:

  1. Batasi Penggunaan Teknologi: Tetapkan batasan waktu yang jelas untuk penggunaan perangkat digital dan berikan alternatif kegiatan yang melibatkan interaksi sosial dan stimulasi kognitif.
  2. Kembangkan Growth Mindset: Tanamkan keyakinan pada anak bahwa kecerdasan dapat berkembang melalui usaha dan pembelajaran. Hindari memberikan label "pintar" atau "bodoh" yang dapat menghambat perkembangan.
  3. Berikan Tantangan yang Sesuai: Berikan anak tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka untuk mendorong perkembangan kognitif dan kepercayaan diri.
  4. Stimulasi Kemampuan Berpikir Kritis: Ajak anak berdiskusi, menganalisis masalah, dan mencari solusi tanpa langsung memberikan jawaban.
  5. Dukung Rasa Ingin Tahu: Dorong anak untuk bertanya dan mengeksplorasi dunia sekitar mereka. Rasa ingin tahu adalah fondasi penting untuk perkembangan kognitif yang sehat.

Kesimpulan

Jadi, benarkah anak-anak sekarang lebih "telmi" dibandingkan anak zaman dulu? Menurut Prof. Stella Christie, perbedaan yang terlihat bukanlah dalam hal kecerdasan dasar, melainkan dalam cara berpikir dan memproses informasi yang dipengaruhi oleh lingkungan digital yang berbeda.

Beliau menekankan bahwa anggapan tentang anak-anak Indonesia yang kurang cerdas atau lambat berpikir adalah pandangan yang perlu dikoreksi. "Anak-anak Indonesia itu pintar, mereka ingin tahu, dan mereka bisa belajar dengan baik jika mendapatkan pengajaran yang tepat," ujar Prof. Stella dengan penuh keyakinan.

Alih-alih memberi label "telmi" pada generasi saat ini, kita perlu memahami perubahan pola pikir yang terjadi akibat revolusi digital dan menemukan cara-cara baru untuk mengoptimalkan potensi anak-anak di era modern ini.

Yang terpenting, kita perlu beralih dari fixed mindset (pola pikir tetap) ke growth mindset (pola pikir berkembang) dalam pendidikan dan pengasuhan anak, sambil tetap bijak dalam mengelola penggunaan teknologi agar teknologi menjadi alat yang membantu, bukan menghalangi perkembangan kognitif mereka.


Sumber: KICK ANDY - MetroTV

Post a Comment
Menu
Search
Theme
Share
Additional JS